MEMBANGUN TRADISI INTELEKTUAL DI KALANGAN POLITISI
Oleh : Ibnu Said
Penulis adalah Wasekum DPD PKS Banggai
Oleh : Ibnu Said
Penulis adalah Wasekum DPD PKS Banggai
Politik adalah sebuah dunia yang identik dengan kata-kata dan retorika. Tak ada politik tanpa retorika. Begitu ungkap sebagian orang saat berbicara mengenai politik. Bahkan tak jarang, ada pula yang menganggap politik adalah tipu daya an-sich. Di sisi lain, ada juga yang menganggap bahwa untuk terjun ke dalam dunia politik tidak terlalu diperlukan tingkat intelektualitas yang tinggi. Cukup Anda bisa berbicara dan membuat janji-janji surga, maka cukuplah sudah Anda menjadi seorang ’ahlul-politik’.
Hitam putihnya dunia politik dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang paling dominan, tentu saja, adalah pada kualitas pelakunya. Kita biasa menyebut mereka sebagai politisi. Oleh karenanya, jika masyarakat kita umumnya terlanjur menilai politik sebagai sesuatu yang kotor, maka hidung politisilah sebagai target pertama yang seharusnya disoroti. Karena merekalah pihak yang bersentuhan langsung dengan dunia yang dianggap kotor tersebut.
Sayangnya (atau beruntungnya) masyarakat kita sekarang ini sudah cerdas dan bisa dikatakan melek politik. Dengan semakin derasnya arus informasi, khususnya yang membahas tentang dunia politik nasional dan internasional, membuat politik kembali menjadi dunia gemerlap yang mendapat cukup banyak perhatian dari publik, meski ada juga yang tetap bersikap apatis. Mereka yang sudah mendapat akses informasi yang beragam itu kini bisa menilai, mana politisi yang benar-benar murni berjuang demi kepentingan mereka, dan mana politisi yang bekerja hanya di waktu menjelang pemilu saja.
Akan tetapi, paska reformasi sepuluh tahun lalu, dunia perpolitikan Indonesia serasa mendapat hembusan angin sejuk. Kalo dahulu, para anggota dewan kita ibarat kucing dalam karung, karena partailah yang berhak memutuskan siapa-siapa saja yang bisa menjadi anggota dewan, sekarang tidak lagi. Dorongan transparansi membuat mereka, yang berniat maju sebagai anggota dewan, harus ’menjual diri’ mereka dengan beragam cara, agar mereka dapat duduk di kursi empuk lembaga legislatif. Berbagai upaya mereka lakukan, mulai dari mengadakan bakti sosial, dialog-dialog politik, menerbitkan biografi, sampai memanggil orkes dangdut.
Penulis memberikan apresiasi yang sangat tinggi terhadap para politisi yang bersusah-payah membuat tulisan untuk mengemukakan ide-ide besar mereka. Hal ini bukan berarti penulis tidak respek kepada para politisi yang tidak pernah menulis, hanya saja penulis merasa bahwa tradisi ini harus dibudayakan sebagai langkah komunikasi politik antara politisi dengan konstituennya. Selain juga untuk mengukur, sejauh mana tingkat intelektualitas sang politisi terhadap bidang yang digelutinya selama ini.
Negeri ini pun telah dibanjiri oleh tulisan-tulisan yang dibuat oleh para politisi. Mulai dari opini-opini mereka yang bertebaran di media informasi, sampai beredarnya berbagai buku yang membahas tentang pemikiran dan kiprah mereka di pentas politik. Termasuk juga harapan dan rancangannya terhadap kemajuan bangsa ini.
Sampai hari ini, penulis nilai, baru satu dua orang saja yang mampu melakukan upaya ini sebagai salah satu caranya berkomunikasi terhadap konstituennya. Meskipun, saya akui, belum banyak orang yang melirik buah pikirannya itu, tapi usahanya tersebut tidak bisa kita katakan sebagai sebuah kesia-siaan. Sebagai seorang akademisi, penulis menyambut baik tulisan-tulisan itu sebagai khazanah intelektual yang harus kita simak baik-baik, selain perlu juga untuk direalisasikan di medan kerja nyata.
Penulis sendiri tidak pernah berpikir, bahwa usaha mereka itu sebagai trik tebar pesona belaka bagi para politisi . Penulis yakin, apa yang mereka tuangkan itu adalah curahan kegelisahan mereka dan harapan-harapan mereka terhadap kemajuan daerah dan bangsa ini. Adapun bagi mereka yang hanya bisa sekedar mengkritik orang-orang yang telah memeras usaha untuk membuahkan sebuah tulisan ilmiah, penulis tidak bisa lain kecuali menyebut kritikan itu sebagai indikasi ketidakpekaannya akan kebutuhan masyarakat terhadap arus informasi.
Effendy Ghazali, salah seorang pakar komunikasi Indonesia, pernah mengutarakan dalam salah satu pelatihannya bahwa, komunikasi tidak hanya berfungsi untuk memberikan informasi an-sich. Tapi lebih dari itu, komunikasi juga memberikan sebuah citra bagi si komunikator terhadap si penerima pesannya. Oleh karenanya, tidak heran, jika seorang politisi berkomunikasi terhadap konstituennya dengan orkes dangdut, maka kita akan mengingatnya sebagai politisi dangdut, dan rakyat pun berharap jika kelak dia terpilih maka orkes dangdut akan semakin marak diadakan.
Kembali ke masalah menulis. Bagi penulis, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Menulis adalah kerja yang menyuratkan tingkat intelektualitas seseorang. Lebih dari itu, dengan tulisan, kita akan cenderung mengingat perkataan sang politisi sehingga saat kita hendak menagih janji-janji politiknya, kita dapat menyodorkan buah karyanya itu sebagai bukti bahwa dulu politisi itu pernah berjanji kepada kita begini dan begitu. Oleh karenanya, penulis hendak menantang kepada para politisi yang akan bertarung di pemilu 2009 mendatang. Beranikah Anda menyampaikan ide dan janji Anda dalam sebuah tulisan ilmiah? Kalau Anda memang politisi yang, mengaku, intelek, maka silakan Anda sambut tantangan ini, dan buatlah sebuah tulisan yang dapat kami baca dan simpan, agar kami tak salah mengamanahi Anda untuk mengurus bangsa dan daerah ini di Pemilu 2009 mendatang. Bole bagitu?
Tulisan ini pernah dimuat di harian Luwuk Post
0 Comments:
Post a Comment
<< Home